Pagi itu, seperti pukul 8.00, seperti
biasa cerah, tak ada tanda-tanda akan terjadi kerusuhan. Tapi suasana di
Jakarta sudah sedikit mencekam. Apalagi setelah aku ditelepon oleh
temanku di daerah Jembatan Lima malamnya, bahwa saat itu di daerahnya
terjadi kekacauan. Beberapa toko mulai dijarah dan dibakar termasuk toko
kertas milik keluarganya.
Hari itu, oleh karena aku kuliah di
kampus yang berdampingan dengan kampus Trisakti, sehingga untuk menjaga
hal-hal yang tidak diinginkan, kampusku diliburkan hingga suasana normal
kembali. Sementara Papa masuk kerja seperti biasa, meskipun sempat
ketar-ketir hatinya waktu berangkat.
Sambil tidur-tiduran di tempat tidur,
kusetel radio favoritku, Sonora. Ternyata laporan pandangan mata
reporter radio tersebut membuat hatiku semakin tidak tenang. Apalagi aku
tinggal hanya berdua dengan Mama di lantai 10 apartemen ini. Aku adalah
anak tunggal. Reporter itu mengabarkan bahwa saat itu, massa mulai
membanjiri seputar Harmoni. Jalan sekitarnya, Jl. Suryopranoto, Jl.
Majapahit, Jl. Djuanda/Veteran, Jl. Gadjah Mada, dan Jl. Hayam Wuruk
diblokir. Suasana mulai panas.
“Ma.. Mama.. Sini, Ma”, aku memanggil-manggil Mama yang sedari tadi nonton televisi.
“Ada apa, Lin.”
“Ma, suasana Jakarta tambah gawat. Tuh Mama dengar sendiri aja di radio. Papa gimana tuh, Ma?” Aku menguatirkan keselamatan Papa yang bekerja di daerah Jl. Sudirman. Demikian pula dengan Mama.
“Ada apa, Lin.”
“Ma, suasana Jakarta tambah gawat. Tuh Mama dengar sendiri aja di radio. Papa gimana tuh, Ma?” Aku menguatirkan keselamatan Papa yang bekerja di daerah Jl. Sudirman. Demikian pula dengan Mama.
Setelah itu aku kembali menyimak radio
Sonora yang biasanya selalu memutar lagu-lagu yang enak didengar
kadang-kadang diselingi beberapa informasi penting, tapi hari itu
sebaliknya, lebih banyak informasi liputan pandangan matanya, sedangkan
lagu-lagunya hanya satu dua saja.
Sekitar pukul 8.45, dikabarkan oleh
radio tersebut, bahwa situasi di sekitar kantor radio tersebut di daerah
Kota, sudah semakin gawat. Bahkan asap sudah mulai mengepul di beberapa
tempat. Tandanya sudah ada beberapa pembakaran oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
Beberapa menit kemudian telepon di meja kecil di samping tempat tidurku berdering. Kuangkat gagang telepon.
“Linda?”
“Yes.”
“Lin, ini Evy. Di daerah gue gawat, Lin. Ruko-ruko udah mulai dijarah. Malah ada lagi yang dibakar.”
Ternyata itu telepon dari Evy, sahabat karibku yang tinggal di daerah Daan Mogot yang memang sedang kacau terus dari kemarin siang.
“Linda?”
“Yes.”
“Lin, ini Evy. Di daerah gue gawat, Lin. Ruko-ruko udah mulai dijarah. Malah ada lagi yang dibakar.”
Ternyata itu telepon dari Evy, sahabat karibku yang tinggal di daerah Daan Mogot yang memang sedang kacau terus dari kemarin siang.
Pukul sembilan, telepon berdering lagi.
Kali ini pacarku, Hendri, yang tinggal di daerah Pluit mengabarkan bahwa
massa mulai bergerak di daerah tersebut. Sebagian melakukan perusakan
dan pembakaran di situ, dan sebagian lagi bergerak ke arah Timur. Ya
ampun! Celaka. Tempat tinggalku berada di sebelah Timur tidak jauh dari
Pluit. Jantungku berdegup-degup kencang. Aku takut jika massa bertindak
macam-macam di daerah tempat tinggalku itu. Ah, tapi hatiku sedikit
tenang mengingat penjagaan keamanan di apartemen tempat tinggalku ini
yang cukup ketat 24 jam. Tidak mungkin ada yang masuk sembarangan.
Lebih kurang pukul 9.15..
“Tok tok tok.” Terdengar suara orang mengetuk pintu dengan cukup keras.
“Ma. Linda aja yang buka pintu”, aku langsung berlari kecil ke pintu dan membukanya.
Ternyata yang mengetuk pintu adalah tetanggaku, Joni. Ia langsung masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh.
“Ko.. Ko Joni. Ada apa?” tanyaku keheranan. Mama pun langsung menghampiri kami berdua.
“Lin, Ci Sui. Keadaan gawat. Apartemen ini sudah dikepung massa. Mereka beringas sekali. Tau nggak, mereka teriak-teriak apa? Bantai Cina! Habisin itu Babi! Dan masih banyak lagi.”
Aku dan Mama berpandangan dan langsung menjadi panik. Tapi Joni menenangkan kami.
“Lin, Ci Sui. Moga-mogaan mereka nggak naik ke sini. Lagian kan satpam di bawah banyak.”
“Tok tok tok.” Terdengar suara orang mengetuk pintu dengan cukup keras.
“Ma. Linda aja yang buka pintu”, aku langsung berlari kecil ke pintu dan membukanya.
Ternyata yang mengetuk pintu adalah tetanggaku, Joni. Ia langsung masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh.
“Ko.. Ko Joni. Ada apa?” tanyaku keheranan. Mama pun langsung menghampiri kami berdua.
“Lin, Ci Sui. Keadaan gawat. Apartemen ini sudah dikepung massa. Mereka beringas sekali. Tau nggak, mereka teriak-teriak apa? Bantai Cina! Habisin itu Babi! Dan masih banyak lagi.”
Aku dan Mama berpandangan dan langsung menjadi panik. Tapi Joni menenangkan kami.
“Lin, Ci Sui. Moga-mogaan mereka nggak naik ke sini. Lagian kan satpam di bawah banyak.”
Namun itu tidak bertahan lama. Tak lama
kemudian ada teman yang tinggal di lantai 4 yang menelepon. Ia
mengabarkan bahwa massa sudah mulai naik ke lantai 2 apartemen ini. Saat
itu juga kami bertiga takut bercampur panik. Dalam hati kami berdoa
agar kami selamat. Setelah itu kami bersiap-siap untuk mengungsi kalau
keadaan di sini sudah tidak memungkinkan lagi. Joni pamitan ke sebelah
untuk membereskan barang-barangnya juga, sedangkan aku dan Mama mengemas
pakaian masing-masing ke dalam tas jinjing.
“Dok! Dok! Dok!” Aku terperanjat. Pintu diketok keras sekali.
“Lin! Jangan dibuka pintunya!” Mama berteriak dari kamarnya mencegahku membuka pintu.
Dengan perasaan mencekam dan takut sekali, aku kembali berdoa. Sejenak hatiku merasa tenang ketika ketokan di pintu itu sudah berhenti. Ternyata doaku dikabulkan. Namun.. “Gedubrak!” Pintu depan didobrak orang dan beberapa orang masuk ke dalam dengan wajah beringas. Beberapa di antaranya masuk ke kamar Mama dan yang lainnya ke kamarku. Karena pintu kamarku tidak kututup, mereka langsung masuk ke dalam dan berdiri mengelilingiku.
“Lin! Jangan dibuka pintunya!” Mama berteriak dari kamarnya mencegahku membuka pintu.
Dengan perasaan mencekam dan takut sekali, aku kembali berdoa. Sejenak hatiku merasa tenang ketika ketokan di pintu itu sudah berhenti. Ternyata doaku dikabulkan. Namun.. “Gedubrak!” Pintu depan didobrak orang dan beberapa orang masuk ke dalam dengan wajah beringas. Beberapa di antaranya masuk ke kamar Mama dan yang lainnya ke kamarku. Karena pintu kamarku tidak kututup, mereka langsung masuk ke dalam dan berdiri mengelilingiku.
“Heh! Cewek Cina! Mau lari ke mana loe, Hah!” bentak salah seorang di antaranya.
“Jangan, Mas! Jangan!” Aku menjerit-jerit sejadi-jadinya meminta agar aku tidak diapa-apakan.
“Mas! Mas! Sejak kapan gua jadi kakak loe?! Lagian ngapain gua punya adik orang Cina kayak loe!” timpal yang lain.
“Eh, Bong. Babi Cina yang ini lumayan juga.”
“Jangan, Mas! Jangan!” Aku menjerit-jerit sejadi-jadinya meminta agar aku tidak diapa-apakan.
“Mas! Mas! Sejak kapan gua jadi kakak loe?! Lagian ngapain gua punya adik orang Cina kayak loe!” timpal yang lain.
“Eh, Bong. Babi Cina yang ini lumayan juga.”
Orang yang dipanggil “Bong” itu
mendekatiku. Kulitnya yang hitam di tambah perawakannya yang tinggi
besar (lebih tinggi dariku yang 171 cm) membuatku kecut. Apalagi ia
mengitariku sambil memandangi tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki.
“Bener juga! Montok juga ini cewek satu!”
“Bener juga! Montok juga ini cewek satu!”
Tiba-tiba si “Bong” menyergapku dari
belakang. Kedua tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku. “Eeeihh!
Jangaann!” Aku semakin terteriak-teriak. Akan tetapi tak seorang pun
dari mereka yang menggubrisku, bahkan mereka semua semakin dekat
mengepungku. Sementara si “Bong” tangannya masih asyik memencet-mencet
payudaraku sehingga membuatku merintih-rintih kesakitan. Aku
meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tapi tenaga si “Bong” ini jauh lebih
kuat dariku. Menyadari usahaku ini sia-sia, akhirnya aku memasrahkan
diri saja. Terserah mereka berbuat apa saja terhadap diriku. Asalkan
saja nyawaku selamat.
Melihat aku yang sudah pasrah, salah
seorang teman si “Bong” menyingkap rok dasterku ke atas. Matanya kulihat
melotot menyaksikan pahaku yang putih dan mulus. Sempat kulihat
pergerakan di selangkangannya. Tapi aku tak mampu lagi berbuat apa-apa.
Kemudian ia bersama dengan temannya yang lain meraba-raba kedua belah
pahaku itu. Sementara di atas, payudaraku terus digumuli oleh tangan si
“Bong” dengan ganasnya. Dan.., “Sreek! Sreekk!” Dengan sekali tarikan
keras, si Bong mencoba menyobek bagian atas daster yang kupakai. Awalnya
susah memang, sebab dasterku ini memang terbuat dari bahan yang tidak
mudah sobek. Namun akhirnya berkat bantuan temannya yang lain, dasterku
ini terkoyak juga sampai ke perut. Tinggal menyisakan tubuh bagian
atasku yang hampir telanjang dengan hanya ditutupi oleh BH saja. Melihat
kedua payudaraku yang tidak begitu besar namun amat kurawat menyembul
di balik BH yang kukenakan, si “Bong” dan teman-temannya kelihatan
semakin bernafsu untuk menggagahiku.
Tak lama kemudian, si “Bong” melepaskan
tali pengikat BH-ku, sehingga payudaraku yang menggantung dengan
indahnya di dadaku terlihat bebas tanpa penutup apapun. Melihat
pemandangan indah sejenak orang-orang yang mengepungku tertegun.
Kumanfaatkan kebengongan mereka. Segera aku mencoba berlari ke arah
pintu kamar. Tapi celaka, seseorang dari mereka langsung menangkap
tanganku, lalu ditariknya dengan keras. Kemudian ia mendorongku dengan
keras, sehingga membuatku jatuh tertelentang di kasur.
“Jangan! Jangan, Mas, Bang! Jangan perkosa saya! Nanti akan saya kasih uang!”
“Dasar Cina loe! Emangnya gue mau makan uang haram dari orang Cina!”
“Tau nggak! Karena loe orang Cina, jadi loe mesti diperkosa!”
“Dasar Cina loe! Emangnya gue mau makan uang haram dari orang Cina!”
“Tau nggak! Karena loe orang Cina, jadi loe mesti diperkosa!”
Si “Bong” yang tampaknya seperti
pemimpin mereka langsung menindih tubuhku. Ibu jari dan telunjuknya
menjepit puting susuku dengan keras. Aku menjadi meringis menahan sakit
dibuatnya. Sementara ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dari sakunya.
“Heh, cewek. Loe kalo kagak mau nurut
sama gua, ntar pentil loe ini gua potong. Mau loe jadi cewek kagak punya
pentil!” Si “Bong” mengancam akan memotong puting susuku dengan pisau
lipatnya jika aku tidak mau menuruti kemauannya. Akhirnya aku diam saja.
“Nah, begitu namanya jadi cewek yang manis. Dul! Celana dia!”
Temannya yang dipanggil dengan “Dul” itu memegang celana dalamku yang kemudian ditariknya turun ke bawah. Sementara itu si “Bong” memotong kain dasterku yang tersisa, sehingga tubuhku menjadi terpampang bebas seutuhnya. Dan tanpa mau membuang-buang waktu, si “Bong” langsung membuka reitsleting celananya dan mengeluarkan batang kemaluannya. Lalu ia menghampiriku dan kembali menindih tubuhku. Aku menjerit cukup keras ketika batang kemaluan si “Bong” amblas seluruhnya ke dalam liang kewanitaanku. Seraya mulutnya melumat payudara dan puting susuku. Ia terus memompa batang kemaluannya naik-turun di dalam kewanitaanku. Aku meronta-ronta menahan rasa sakit yang terhingga. Kewanitaanku yang masih perawan dan sempit itu dihajar begitu saja oleh batang kemaluan si “Bong”.
Temannya yang dipanggil dengan “Dul” itu memegang celana dalamku yang kemudian ditariknya turun ke bawah. Sementara itu si “Bong” memotong kain dasterku yang tersisa, sehingga tubuhku menjadi terpampang bebas seutuhnya. Dan tanpa mau membuang-buang waktu, si “Bong” langsung membuka reitsleting celananya dan mengeluarkan batang kemaluannya. Lalu ia menghampiriku dan kembali menindih tubuhku. Aku menjerit cukup keras ketika batang kemaluan si “Bong” amblas seluruhnya ke dalam liang kewanitaanku. Seraya mulutnya melumat payudara dan puting susuku. Ia terus memompa batang kemaluannya naik-turun di dalam kewanitaanku. Aku meronta-ronta menahan rasa sakit yang terhingga. Kewanitaanku yang masih perawan dan sempit itu dihajar begitu saja oleh batang kemaluan si “Bong”.
Akhirnya, si “Bong” dan teman-temannya
yang berjumlah seluruhnya lima orang itu secara bergiliran mengagahiku.
Rasa-rasanya aku seperti hampir pingsan akibat rasa lelah dan rasa sakit
yang menjadi-jadi di selangkanganku. Namun begitu setiap aku kelihatan
hampir tak sadarkan diri, orang yang sedang menggagahiku menampar pipiku
dengan cukup keras untuk menyadarkanku kembali. Begitu seterusnya,
hingga kelima orang itu berhasil memperkosaku dengan “sukses”.
Ternyata penderitaanku belum berakhir.
Dengan tertatih-tatih aku diseret keluar ke koridor apartemen dalam
keadaan bugil. Aku tidak mengetahui keadaan ibuku lagi. Yang kutahu
hanya saat aku diseret keluar, kudengar ibuku menjerit-jerit kencang
dari dalam kamarnya yang pintunya tertutup rapat. Dan astaga! Di koridor
aku menjumpai Joni yang tergeletak babak belur di lantai sedang
digebuki oleh empat orang. Aku juga tidak tahu apakah Joni masih hidup
ataukah sudah tiada.
“Sur! Nih, gua serahin cewek ini buat
jadi santapan loe!” Si “Bong” berteriak kepada salah orang pengeroyok
Joni sambil mendorong tubuhku dengan keras.
Aku yang memang sudah lemas langsung terjerembab ke lantai koridor. Orang yang dipanggil “Sur” itu menarik tanganku dan menyuruhku berdiri. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil berdiri juga. Setelah melihat sekujur tubuhku yang telanjang bulat, ia berteriak kepada temannya. “Weh, Den! Boleh juga ini cewek Cina! Kita kerjain die sekarang!”
Aku yang memang sudah lemas langsung terjerembab ke lantai koridor. Orang yang dipanggil “Sur” itu menarik tanganku dan menyuruhku berdiri. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil berdiri juga. Setelah melihat sekujur tubuhku yang telanjang bulat, ia berteriak kepada temannya. “Weh, Den! Boleh juga ini cewek Cina! Kita kerjain die sekarang!”
Aku pun diseret kembali. Kali ini oleh
si “Sur”, si “Den” dan dua orang temannya. Si “Den” membuka pintu tangga
darurat. Tubuhku pun yang hampir tak berdaya diseret masuk ke dalam.
Akhirnya aku dibaringkan tertelentang di anak tangga darurat, dan
kembali aku digagahi. Kali ini oleh empat orang. Mereka bergantian
memperkosaku. Akhirnya aku sudah tidak mengetahui lagi sudah berapa
orang dari mereka yang telah menikmati tubuhku karena aku langsung tak
sadarkan diri.
Hari ini adalah tepat dua tahun setelah
hari naas itu. Bayangkan! Aku menjadi korban perkosaan oleh sembilan
orang sekaligus! Mama, wanita separuh baya yang berusia 39 tahun, juga
diperkosa oleh orang-orang biadab itu. Sementara itu, tetanggaku Joni
ternyata menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah dirawat beberapa
hari di RS. Atmajaya, Pluit.
Sejak saat itu sampai kini aku belum
masuk kuliah. Rasa traumaku belum juga hilang. Beberapa orang teman
kuliahku seringkali menjengukku yang kini untuk sementara tinggal di
rumah saudaraku di Jatinegara. Tapi aku bukan Linda yang dulu. Aku
sekarang adalah Linda yang lain. Sudah tidak ada lagi Linda yang bawel,
Linda yang ceria. Yang tersisa sekarang hanyalah Linda yang pendiam dan
Linda yang sering termenung! Entah, sampai kapan aku bisa melupakan
semua kejadian pahit ini? Entahlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar